|
Artikel di bawah...
=============================================================
Hidup adalah memilih
Oleh: T. Arif*
Pementasan pada hari ke tujuh pesta monolog yang diselengarakan Dewan
Kesenian Jakarta, Selasa (17/04) memiliki keistimewaan dari hari
sebelumnya. Kendati belum lagi semua pemonolog memperlihatkan kebolehannya,
namun bisa dikatakan, pertunjukkan pada hari itu sungguh memukau.
Pada pementasan pertama, pukul lima sore menampilkan Aisha Basyar dari
Medan. Lakon yang dibawakan berjudul Perempuan oleh aisyah Basyar sendiri. Perempuan yang lahir di Siantar, Sumut 34 Tahun
lalu itu bermain
dengan prima. Bersama timnya dari Teater Anak Negeri yang disutradarai
Bapak Idris, hampir semua pesan yang disampaikan melalui cerita dan gerakan badan, sudah mewakilkan dan menyampaikan isi pesan.
Perempuan yang dibawakan Aisyah Basyar berkisah tentang kecemasan yang
dituai oleh seorang perempuan tua akibat pilihan-pilihan yang diambil
oleh anak-anaknya. Adegan dimulai dari suara tangisan bayi Serta permainan cahaya yang dikemas dalam warrna merah muram yang
memantulkan siluet seorang perempuan sedang mengayun bayi dari balik layar screen. Sebuah monolog mengalir dari balik layar
tatkala suara tangisan bayi mereda.
“Suatu hari Juang si Bungsu pulang bersama perempuan” kisahnya
mengawali dan memperkenalkan si bayi. Juang adalah anak Bungsu si ibu, dan ayah
dari bayi yang diayun perempuan tuan. Juang dalam runutan cerita yang
dipaparkan perempuan tua itu adalah anak yang selalu terlibat didalam
aksi-aksi anarkis dan vandalis. Seperti dari kisah yang meluncur dari
mulutnya “sudahlah Juang, hentikanlah aksi-aksimu itu”. Namun si Bungsu
tetap melancarkan aksi-aksinya sampai mengantarkannya, sel demi sel.
Juang telah memilih jalan hidupnya.
Lantas apa yang membuat Juang memilih jalan itu? Ternyata ada kisah
lain yang melatari keras watak si Bungsu. Juang melihat ketidak-adilan
yang ada disekitarnya. Jiwa mudanya mendidih ketika ketidak adilan
mengurungnya dalam sebuah ruang yang dibebat oleh sejarah buram. Intuisinya
untuk memberontak bangit. Dia melawan dengan kelompoknya yang menebarkan aksi-aksi terror kepada kebijakan sejarah yang dipelintir
pemerintah.
Juang adalah seorang pemuda yang mewakili pemuda-pemuda yang terpaksa
mengambil jalan kekerasan demi terbenturnya kebijakan pemerintah yang
fundamental dengan perubahan konkrit dan berarti dalam tatanan peradaban.
Juang adalah anak seorang perempuan lemah yang harus meratapi malam
demi malam pelarian Bungsu kesayangan. Juang adalah mewakili kelompok
keras yang memiliki kadar militansi yang kokoh sperti cadas.
Tidak berbeda dari pilihan adiknya, pun, Bintang, sianak hilang yang
merupakan putra ke duanya juga mengambil resiko yang sama. Tidak ada
kronologis jelas, siapa mempengaruhi siapa dalam anggota keluarga Perempuan
Tua. Sehingga kedua putranya mengambil pilihan yang tidak masuk diakal
perempuan yang hari demi harinya habis meratapi akibat perbuatan
anak-anaknya. Sampai disitukah penderitaan perempuan tua?
Kisah ini seperti kisah Gorky, dalam kisah Mother. Dimana si ibu yang
hari-harinya mencemaskan keselamatan Pasha putranya yang terlibat dalam
aksi-aksi frontal yang didalangi kaum buruh. Guratan penderitaan yang
diderita Ibunda dalam Gorky nyaris sama dengan pergulatan Perempuan
dalam lakon sore itu. Hanya saja perbedaannya yang terlihat adalah Ibunda
tidak hanya sekedar menyesali pilihan anaknya. Tapi juga ikut memilih
jalan yang sangat berbahaya. Sedang perempuan dalam pementasan tidak
mengambil ikut mengambil pilihan. Perempuan lebih terfokus pada penyesalan
yang telah dilaluinya sepanjang hidup. Sejak Suri, Putri Sulungnya
hengkang ke luar negeri untuk mencari suaka. Sebab ditanahnya sendiri Suri
tidak mendapatkan pilihan yang membawanya pada ketenangan. Sebab bila
Suri tidak memilih, maka terror dan ancaman dari penguasa akan terus
mengalir. Suri adalah seorang penulis. Tidak jelas benar memang tulisan
apa yang telah menyebabkan dia terpaksa hengkang ke negeri jiran. Tapi
esensinya, adalah, ketiga putri-putra perempuan itu telah mengambil
pilihan hidupnya
Lalu apa pesan moral yang diangkat dalam pentas kali ini? Adalah sebuah
keberanian untuk memilih yang dilandasi pengetahuan yang besar,
walaupun apapun akibatnya adalah sebuah perbuatan mulia.
Tak penting sudah berapa korban jiwa melayang, yang berdosa ataupun
tidak, akibat serangkaian peledakan yang dilakukan Juang dan kelompoknya.
Itu bukan masalah. Bahwa jalan yang diambil Juang. Bukan sebuah
pembenaran atas pengambilan paksa jiwa seseorang kepada orang lain. Tapi apa
yang menjadi penyebab orang lain merasa berhak mengambil nyawa orang
lain itulah yang menjadi masalahnya. Seperti kata Shakespeare lewat
pangeran Denmark, Hamlet. “To be or not, that is the question. Bila dengan
tidur dan bermimpi kita dapat merubah kesialan hari-hari kita. Maka aku
akan mencoba untuk tidak bunuh diri”. Bila dirujuk pada serentetan kasus
peledakan sejumlah bom di NKRI ini, itu tidak akan penting. Akan
semakin banyak, pelaku-pelaku yang lain. Bahwa Juang-Juang lain akan terus
lahir dan meledakkan bom-bom di kantor-kantor, kedubes Negara asing, WC
umum, busway, halte bis, sekolah dasar. Rumah sakit jiwa dan
sebagainya-dan sebagaianya. Bahwa diluar sana, akan terus lahir Juang-Juang baru,
Pasha-Pasha baru yang akan membawa suara-suara sumbang yang tidak akan
pernah disukai oleh pembuat kebijakan di negeri (ini).
Pesan terakhir sebelum layar diturunkan dan black out, adalah tak lepas
dari “buku” apa yang telah menjadi referensi kita untuk memilih jalan.
“Kenapa kau wariskan buku kepada tiga anakmu? Dengan buku-buku itu
mereka telah menjadi salah di mata umum. Dengan buku-buku itu merekatelah
mengambil pilihan hidupnya?” teriak Perempuan tatkala marah pada potret
almarhum suaminya.
Ketiga anak perempun tua adalah para pemberani yang mengambil pilihan.
Sebab di dalam hidup tak ada pilihan lain kecuali pilihan untuk tetap
bertahan. Keadaan memaksa kita untuk memilih sesuatu yang kadang kala
bertentangan dengan rasionalitas. Maka hiduplah. Jangan takut untuk
hidup. Sebab hidup adalah sebuah pilihan. Kita tak pernah meminta untuk
dilahirkan. Maka pilihlah kehidupan sebagai sesuatu yang merupakan sebuah
pilihan dengan nilai mutlak.
*Anggota Komunitas Pekerja Sastra Kampus, pemerhati Gerakan Mahasisiwa Kampus.
post: 18 Mei 2005
=============================================================
Nonton Kingdom Of Heaven? Siapa takut...
Saya baru sekali sih menonton film ini, tapi saya tidak mendapatkan pesan apa-apa. Menurut saya film ini masih terlalu sarat
dengan propaganda barat yah. Saya tidak melihat adanya kedamaian berarti di Yerusalem dalam versi hollywood itu. Saya melihat
beberapa penyimpangan sejarah yang dilakukan semata-mata demi kepuasan Penonton dan ceritanya lentur serta dapat mengalir
seperti air. saya tidak mendapatkan literatur yang sah seputar kematian Godfrey (ayah si Balian dalam film itu). Menurut sebuah
buku yang pernah saya baca (sejarah perdaban Islam dari masa kemasa, pengarang lupa), Raja itu di pulangkan oleh Pemimpin
koalisi tentara Islam yang berkedudukan di Damaskus, Nurruddin (paman Yusuf Bin Ayub). Karena kekalahan dia di gerbang masuk
kota kelahiran Isa tersebut. Nah mengenai Balian sendiri, saya tak menemukan literatur yang akurat mengenai data panglima
perang Yerusalem ini. Hanya saja saya memang membaca tentang kewalahan yang dihadapi imam dari dinasti Abbasyiah itu untuk
masuk ke Yerusalem. Dan memang ada seorang Baron dari Ibelin yang datang ke Yerusalem sesaat setelah kekalahan tentara salib.
namun tujuannya datang ke Yerusalem bukan untuk bertempur tapi untuk negosiasi dengan Yusuf bin Ayub (shalahuddin al-ayoubi).
sumber mengatakan, Karen Armstrong dalam bukunya, Yerusalem kota tiga iman.
Saya melihat beberapa keganjilan sejak visualisasi dari adegan peradegan film itu. Yaitu adanya kesamaan motif antara pembuat
film dengan si pembuat kebijakan dalam pemerintahan Amerika Serikat. Saya mencium jelas adanya propaganda gagal dalam film
itu. semua ras ada di dalam crusader, mulai dari orang jerman, italia sampai orang habsy (yaman hitam/afrika). Ini persis
sama dilakukan oleh Bush ketika setiap kali mengadakan jumpa pers ketika penyerangan ke Irak. yang dipasang di barisan depan
itu adalah orang ras kuning, cina, india, sampai orang niger. hal ini menunjukan bahwa Amerika Serikat (baca: pemenang dalam
segala hal) adalah sebuah negara demokratis.
Pun dalam visualisasi yang ditonjolkan dalam film yang bersetting pada perang salib itu.
Selain itu saya juga memperhatikan sikap Balian yang melihat para budaknya menggarap tanah milik bapaknya. Hampir semua pengalan
gambar menunjukkan 3 orang yang selalu bergandengan tangan. Itu diasosiasikan sebagai 3 pemeluk agama yang hidup makmur di
bawahBalian (atau Lord Godfrey).
Pun saya melihat kesan arogansi tentara salib ketika berada di tanah suci itu. Dan diimbangi oleh kebohongan besar yang ditunjukkan
oleh seorang yang dekat dengan imam El-ayoubi yang memprovokasi imam untuk merebut yerusalem. itu tidak pernah benar. Dan
alasan penyerangan imam ke yerusalem dilatar belakangi terbunuhnya saudari perempuannya (oleh Raymun dari Chatillon) juga
salah besar. Saya pernah membaca (kalau tak salah besar) bahwa yang melatari mobilisasi 200.000 orang damascus,serta orang
Moor di maroko ke yerusalem adalah bahwa imam sudah merasa didustai. raja yerusalem ketika itu tidak pernah menghukum pelaku
pembantaian kaphilah, versi philem holiwud dipenjara, namun setelah raja yang sah mangkat (Baldwin IV, adalah raja yerusalem
yang mati muda karena kusta)dibebasin oleh adik iparnya, Guydari Lusignan. Jadi saya lihat film ini masih sarat dengan penipuan
dan objektifitas yang memaksa.
Tidak ada yang benar2 netral dalam menyajikan sesuatu. bahkan ibu kita juga begitu.
Walaupun begitu, saya merekomendasikan film ini untuk ditonton, yeah sekedar hiburan. Murni hiburan plus pertunjukan dan show
gratis kebodohan mereka dalam menyampaikan propaganda.
Demikianlah ulasan saya, terlepas dari subjektifitas saya sebagai mahluk beragama. saya hanya menulis sesuai fakta sejarah
dan film yang baru saya tionton kemaren malam di megaria.
wassalamualaikum
salam sejahtera
hom swastiastu
=============================================================
Fenomena Syair (Penyair) Acheh.
oleh : T. Arif*
Seketika orang-orang kembali mengingat pada sebuah tempat yang (sudah lama) dilupakan. Tragedi kemanusiaan di Aceh yang terjadi
pada 26 Desember tahun lalu memang menyentuh hati siapapun. Bahkan orang gila menangis ketika melihat tayangan video amatiran
hasil shoot-nya Cut Putri[1].
Yang terjadi kemudian adalah, bentuk-bentuk solidaritas yang terus mengalir pasca gempa dan tsunami. Ungkapan-ungkapan bela
sungkawa dari negeri tetangga. Relawan-relawan yang tidak benar-benar rela juga sebenarnya. Para eksodus yang “dulu”
melarikan diri meninggalkan Nanggroe Aceh, aparat pemerintah, para penduduk yang berdatangan dari luar Aceh yang datang mengunjungi
tanah leluhurnya. Semua memenuhi Aceh. Tumpah ruah seperti bah.
Tsunami yang ditandai dengan gempa yang berkekuatan 8.6 skala richter dengan titik episentrum di ujung barat pantai Simeuleu
dan ujung timur kepulauan Andaman cukup meluluh lantakan negeri yang terletak di ujung barat Indonesia. Daerah yang sepanjang
tahun mengalami konflik itu yang kurang diminati dan tidak mendapat apresiasi dari kalangan masyarakat Indonesia di luar Aceh,
khusunya yang tinggal di pulau Jawa (baca: Jakarta) termasuk para penyairnya. tiba-tiba saja menjadi sangat ramah di telinga
kita (baca: masih Jakarta). Aceh tiba-tiba mengalahakan rating poling SMS Indonesia Idol maupun Jakarta Under cover yang di
sebut-sebut best seller itu.
Jakarta adalah sebuah tempat yang penuh gegap gempita dengan nuansa khas politik a la Indonesia. Dimana permasalahan yang
dihadapi oleh mahasiswa dan penyairnya adalah masalah yang krusial, penuh intrik diseputar kisah antara kuasa, penguasa, mengusai
dan dikuasai. Tidak melihat dengan seksama bahwa sebenarnya akar permasalahan tersebut di bawa dari daerah-daerah yang sedang
membutuhkan perhatian intensif.
Ketika diberlakukannya Darurat Operasi Militer (DOM) oleh Pemerintah RI pada masa Orde Baru tahun 1989, banyak aktifis mahasiwa,
dan kemanusiaan yang turut terjagal oleh misi keamanan tersebut. Tidak hanya itu, didalama kuburan-kuburan massal yang diisi
oleh rakyat sipil tidak sedikit dari mereka adalah seniman-seniman, penulis, pemerhati budaya Aceh.
Bila dirunut, sebenarnya ada benang merah atas kematian/kehilangan orang-orang seperti mereka di tanah Serambi Mekkah.
Yang mengakibatkan kebudayaan dan kesenian Aceh tidak dapat terawat baik. Tidak pernah para seniman di Aceh dapat berdiskusi
dengan aman. Justru dikarenakan oleh orang-orang yang membawa misi keamanan.
Hal itu berlangsung sampai masa Darurat Militer yang bersambung hingga dua jilid (Lebih mirip buku yang berjudul Balada Aceh).
Rakyat yang dikondisikan dan diarahkan menjadi manusia yang tidak sehat itu terus dikurangi dengan paksa jumlah populasinya,
sebagian mereka melarikan diri keluar Aceh, sebagian hilang dan lainya ditemukan mati di pasar, di sawah, di bawah tangga
meunasah[2]. Dimana-mana. Bahkan sampai Darurat Militer itu diganti dengan nama yang sedikit sopan dan jauh dari kesan angker.
Kendati Darurat sipil yang diberlakukan Ibu Mega yang bertubuh sehat itu bersambung kepada Bapak SBY yang berwajah tampan,
namun tetap tidak menghindarkan korban jiwa yang terus jatuh, terlebih Budaya Aceh yang mulai samar-samar dipelupuk mata rakyatnya
yang setiap hari berduka sebab ada saja kerabat mereka yang hilang, diciduk. Bahkan statistik menuliskan angka yang besar,
5 penduduk mati sia-sia perharinya akibat eksekusi dan klaim yang dituduhkan oleh dan kepada dua kelompok yang sedang berseteru
di sana.
Namun begitupun sangat jarang issu Aceh menjadi perbincangan dan diskusi hangat dikalangan penyair dan budayawan di Jakarta.
Semua penyair masih suka berkutat didalam pangsa-pangsa pasar yang akan mereka masuki nantinya. Para budayawan jarang menghumbar
tari Seudati dan tembang malam Dodaidi yang berisikan falsafah hidup. Kecuali menjadikan Budaya Pop sebuah fenomena gaib yang
layak menjadi bahan diskursus mereka.
Seolah-olah masalah Aceh (dan beberapa daerah di Indonesia sebenarnya)adalah masalah rakyatnya, masalah anak-anak yang kehilangan
bapak. Masalah perempuan-perempuan yang menjadi janda janda.
Tuhan menjetikkan jarinya di ujung pantai Banda[3] dan itu benar! Ketika Tuhan sudah ikut langsung menengarai dan bersentuhan
langsung diantara GAM dan TNI yang berebut menjadi eksekutor bagi sipil Aceh, semua mata tertuju pada Aceh, sebuah daerah
yang didalam dongeng anak-anak Jakarta adalah sebuah tempat pensuplai ganja terbesar di Indonesia[4]. Presiden SBY yang hampir
“merayakan” 100 hari ke-presidenannya kaget sejadinya[5]. Tidak hanya itu. Ke-tiba-tibaan itu menjangkiti semua
lapisan masyarakat. Semua menunjukan simpati dan empati yang dalam atas musibah yang menimpa Aceh. Seolah sebelumnya Aceh
adalah sebuah wilayah di Indonesia yang makmur, aman damai, gemah ripah loh djinawi, dengan Gubernurnya yang korup[6], seniman
yang bebas berekspresi di Taman Budaya Aceh serta mal-mal megah bersdiri di tanahnya.
Posko-posko didirikan di sepanjang kepulauan nusantara, tidak termasuk Aceh tentunya. mulai dari mahasiswa sampai preman terminal
tidak ketinggalan dalam euforia yang belum tentu akan datang untuk sekian tahun yang akan datang. Pendek kata semua elemen
mendirikan posko kemanusiaan, baju bekas, sembako dan lain sebagainya memenuhi posko-posko. Entah liar-entah resmi. Banyak
yang percaya musibah ini adalah sebuah ujian Tuhan, ada juga yang percaya bahwa dibalik musibah ini adalah anugerah. Blessing
in disguise.
Pun yang menjadi sorotan tajam adalah diputar-ulangnya lagu-lagu berbahasa Aceh di stasiun TV, pesona ragam budaya Aceh diperlihatkan
kembali di muka umum. Seminar-seminar tentang rekonsiliasi dan rekonstruksi Aceh dibicarakan di lingkungan akademisi, warung
kopi, hotel bintang lima sampai transaksi saham di BEJ. Bahkan penyair beramai-ramai membuat antologi puisi mengenai Aceh
pasca tsunami. Antologi tersebut dijual kemudian hasilnya disumbangkan kepada rakyat Aceh. Hal ini tetap lebih menarik dari
perundingan yang dilakukan NKRI-GAM di Helsinski beberapa waktu lalu.
Semua media diserbu para penyair. Mereka menerobos begitu saja tempat-tempat yang bisa dijadikan tempat berekspresi. Seperti
sebuah cerita tentang tsunami penyair. Begitu besarnya hempasan gelombang penyair yang bersyair mengenai Aceh sehingga mampu
mengalahkan ratap sedih yang ditimbulkan tsunami itu sendiri.
[1] Video Cut Putri sudah mulai di Publish sejak hari ke-4 pasca tsunami. Konon kabarnya video itu dapat ditemukan dengan
mudah di Glodok dalam bentuk kepingan CD, bertumpuk diantara CD bajakan, lagu barat, Rhoma Irama, filem Blue dst..
[2] Meunasah = Surau
[3] Sepenggal syair yang dilagukan Sherina, yang sering diputar di Metro TV
[4] Anak-anak muda Jakarta lebih mengenal Aceh sebagai daerah penghasil ganja
[5] Sby merencanakan perjalanan ke Nabire yang juga ditimpa gempa, sedang Kalla sbg wapresnya sempat menghadiri acara halal
bihalal masyarakat aceh di Senayan, minggu pagi 10.00 wib, 26 Desember 2004.
[6] Pada senin 27 desember 2004 sidang Puteh, Gubernur NAD di buka untuk pertama kalinya
*Penulis adalah Pengamat Pergerakan Mahasiswa UBK.
=============================================================
Sebuah tempat, Pasar malam dan Boulevard akasia
Gerimis itu telah menghapus jejaknya yang tertinggal didalam Lumpur
“dia telah pergi, tak satupun dari kita tau kemana dia”
pohon-pohon akasia di tepi jalan
orang-orang yang lalu lalang
pasar-pasar malam
tak ada yang pernah menyapanya didalam ingatan
hiduplah, untuk seratus tahun lagi
mencintalah untuk seratus tahun lagi
sore itu, seperti biasa orang-orang lalu lalang, dibawah deretan akasia di tepi jalan
pasar-pasar malam adalah tujuan kehidupan
nikmati saja apa yang disuguhkan disana.
Lantas gerimis itu datang tanpa diundang
Ya, walau gerimis tapi cukup membuat kacau pasar malam
Semua berteduh
Dibawah pohon akasia semua orang merentang jalan kehidupanya masing-masing
Pasar malam sepi
Jalan-jalan lengang
Semua orang mencari perlindungan
Sebatang akasia tua
Bukanlah tujuan hidup manusia
Hanya sesat memberikan keteduhan dari terpaan air
Gerimis telah menghapus jejak yang tertinggal didalam Lumpur
Pasar malam pasar sepi
Jalan-jalan lengang ditengah boulevard akasia
Tak ada seorangpun yang mau membaca ritusnya disana
“air naik setinggi rumah, orang-orang, mobil-mobil, kasur, kayu, beha, manusia bahkan rumah juga dibawa oleh gerimis
sedu sedan itu”
lantas tak ada yang tersisa
tak ada komidi putar atau badut yang sedang beraksi disana, pulanglah!
“gerimis benar-benar telah menghapus semuanya”
hiduplah, untuk seratu tahun lagi
mencintalah untuk seratus tahun lagi
jalan akasia yang dipenuhi luka-luka
bukanlah tujuan manusia
pasar malam pasar tragedi
tempat yang indah untuk mati
gerimis jatuh lagi
sekarang semuanya benar-benar pergi
14 januari 05
=============================================================
Suatu hari di hidup kita.
Kita seperti daun muda yang tanggal dari dahan kering sabuah pohon yang hidup segan mati tak mau…
Begitu muda untuk tertiup angin siang yang panas.
=============================================================
Aceh berduka
Ketika aku menangis
Aku tidak menangis
Ketika satu-persatu keluargaku hilang dibawa orang berseragam
Aku tidak menangis
Ketika aku mendengar kabar, bahwa mereka telah mengubur keluargaku
Diatas ladang-ladang ganja
Ibuku mengajarkan aku tegar dalam dodaidi malamku
Aku juga tidak menangis
Ketika aku terpaksa meninggalkan Acehku
Menjadi eksodus. yang bukan-bukan sama sekali mauku
Ibuku mengajarkan aku tegar dalam dodaidi malamku
Aku tidak pernah menangis, ketika satu-persatu teman main kecilku hilang
Raib ditelan malam
Ketika ketenangan malam Ramadan, bersahut-sahutan suara proyektul menghantam kegelapan
Aku tidak menangis, sebab ibuku mengajarkan aku tegar dalam dodaidi malamku
Tapi bagaimana mungkin
Lautku yang selama ini kujadikan sebagai lampiasan kesedihan
Sekarang ikut-ikutan memusuhi aku?
Aku menangis sekarang
Ketika menyadari bahwa hilangnya sebuah nyawa adalah sebuah tragedi
Aku meratap sekarang
Bahwa hilangnya lebih dari 70.000 nyawa di Acehku merupakan hitungan statistik
Ibuku mengajarkan aku tegar dalam dodaidi malamku
Apalah yang aku punya sekarang?
Bahkan laut yang kubanggakan ikut memberikan duka ku yang telah panjang.
Sejak “kita” merdeka tak pernah aku tertawa
Ibu tidak pernah mengajarkan aku membenci lautku
Tapi ibu mengajarkan aku tegar dalam dodaidi malamku
Lantas kapan aku tertawa Tuhan?
TNI telah mengubur mimpiku
Tsunami telah membawa kabur Acehku
Tinggal lantakan puing-puing, pulau-pulau hantu.
Aku tak tahu kalau ini sebuah ujian Tuhan.
Aku tak pernah sanggup membenci lautku
Aku tidak menangis ketika hidupku selesai sampai disini
Tapi aku menangis, bila Acehku hilang di “sini”
-Djkt 1 Jan 05-
=============================================================
Kisah sepotong rahim
sepotong rahim menyembul dari tong sampah
"rahim siapa itu?" tanya seorang bayi manusia yang baru saja tiba dari pelabuhan
seorang perempuan muda menangisi rahimnya yang lari "dimana laki-lakiku?"
sementara ada ratusan lelaki yang mengaku pernah tidur dengan ibu
aku tidak pernah hadir di dunia.
melewati liang sunyi dan sepi vagina
aku tak pernah berpapasan dengan lindap udara
sambil melalui gua yang suci "ini rahim siapa?" tanya bayi pada sebuah entah
sebuah rahim luntang-lantung di depan etalase sebuah toko "aku mau mendandani diri dengan waktu-waktu yang lalu, ketika ratusan
lelaki membungkuk di bawah kakiku"
rahim itu... rahim ibu.
sembilan bulan aku bertapa di sana
merancang sebuah kehidupan agaknya "sayang kau bukan janin yang manis. aku takut kau tumbuh menjadi manusia culas dan hipokrit.
kau tak layak hadir di bumi. tak ada tempat untukmu tahu!"
di pelabuhan aku bertemu dengan sebuah rahim
di tempat sampah agaknya, meringkuk bersama cerocosan tikus busuk.
masih segar darahnya ;aku janin-mu!
di bawah pendaran lampu-lampu galangan kapal rahim itu keliaran mencari bapak ku
rahim... rahim...
rahim itu... rahim ibu.
--rahim ibu, 11Okt 04
|